Minggu, 14 April 2019

Yang Berharga dan Takkan Tergantikan



Hari ini cuaca sedang buruk-buruknya, aku memutuskan tidur dengan ibuk. Tak seperti biasanya, usapan lembut di kepalaku tak lantas membuatku tertidur sampai akhirnya ibuk yang tertidur. Aku amati helaan nafas demi nafasnya, "hiduplah selamanya," batinku.

Aku tenggelam dalam pikiran panjang yang tak berujung, hingga aku akhirnya tertidur. Pukul 3 pagi aku terbangun karena mendengar isakan, aku diam tak bergeming karena khawatir ibuk menyadarinya. Setiap hari, tak henti-hentinya doa ibuk terasa mengalir dalam setiap denyut nadiku, memberi energi positif dalam setiap aliran darah ke seluruh tubuh.

Kepada ayah yang tak kenal letih dan mengajarkanku untuk tidak mengeluh. Bahwa segala jalan hidup kita, sudah diatur Yang Maha Kuasa. Meski tak pernah ayah mengungkapkan rasa sayangnya langsung, tapi terasa setiap aku mencium tangannya sebelum berangkat sekolah, terasa peran besarnya hingga aku sampai di titik ini. Selalu usapannya selepas aku kembali dari penatnya perkuliahan menjadi penawar, semangatku seakan terisi kembali.

Pada satu titik kenangan tertentu, aku rindu menjadi anak kecil. Memangkas penuh pikiran-pikiran yang tidak membahagiakan. Sembari disisipi sedikit demi sedikit makna berjuang dan hidup prihatin. Senantiasa spontan mendoakan lancarnya rezeki setiap melihat pedagang kecil. Mendoakan kesehatan mereka karena boleh jadi mereka satu-satunya tulang punggung keluarga.

Ajaran-ajaran keduanya pun tak melulu tersurat. Terekam dalam memoriku perkataan ibuk soal tidak meminta buah tangan kepada orang lain kecuali diberi karena setiap orang punya kepentingan dan kemampuannya masing-masing. Atau ketika ayah membantu mengantarkan tetangga ke rumah sakit sekaligus keduanya repot-repot bolak balik menyiapkan pengajian di rumahnya. Atau ketika aku diberi kepercayaan melakukan apapun hingga segan sekali untuk berbohong. Atau ketika aku diajak berkunjung dan memberi santunan ke panti asuhan. Juga ketika keduanya merawat mbah sampai ajalnya.

Sama halnya dengan luka masa kecil yang katanya membekas sampai besar—kecuali dengan penerimaan (5 stages of grief number 5; acceptance), begitu pula suar-suar nilai kehidupan semasa kecil.

Kabar baiknya, aku tetap dan akan selalu menjadi anak kecil bagi kedua orang tuaku.

Teringat kata-kataku kepada seorang teman kemarin, “emang yang bakal ada di samping kamu siapa selain orang tua dan keluargamu sendiri?” Terkesan ringan mengatakan itu memang, tapi rasanya mengandung kebenaran, setidaknya bagiku.

Bahkan ketika seluruh dunia mencari-cari kesalahanku hingga tak berguna lagi hidup rasanya, merekalah yang takkan menyalahkanku. Pun nasihat-nasihatnya takkan berhenti hinggap di kepalaku. Bersama merekalah aku pulih atas setiap kenyataan—yang terdengar—pahit.

Tetapi tetap satu hal yang pasti,

Pada akhirnya, semua teman hidup akan pergi satu per satu, tertutup tanah. Tepat saat hari itu tiba, ketika tanah menutupiku, satu per satu pun akan pergi meninggalkanku sendiri. Sendiri aku lahir ke dunia dan sendiri pula aku kembali dari dunia.

Mataku kembali menghangat, ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Akankah aku punya cukup waktu, mencapai mimpi-mimpi untuk mereka yang kian menua, menghidupkan mimpi-mimpi untukku yang akan menua.

Aku bersyukur karena Allah selalu bersamaku dan mengirimkan malaikatnya yaitu ayah dan ibu. Semoga kita semua kelak berkumpul kembali di tempat sekekal-kekalnya tiada rasa sakit.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِوَ الِدَىَّ وَارْ حَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَا نِى صَغِيْرًا

19 Februari 2019

Terinspirasi dari lagu Fourtwnty – Kita Pasti Tua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih :)