Hari ini cuaca
sedang buruk-buruknya, aku memutuskan tidur dengan ibuk. Tak seperti biasanya,
usapan lembut di kepalaku tak lantas membuatku tertidur sampai akhirnya ibuk
yang tertidur. Aku amati helaan nafas demi nafasnya, "hiduplah
selamanya," batinku.
Aku tenggelam
dalam pikiran panjang yang tak berujung, hingga aku akhirnya tertidur. Pukul 3 pagi
aku terbangun karena mendengar isakan, aku diam tak bergeming karena khawatir
ibuk menyadarinya. Setiap hari, tak henti-hentinya doa ibuk terasa mengalir
dalam setiap denyut nadiku, memberi energi positif dalam setiap aliran darah ke
seluruh tubuh.
Kepada ayah
yang tak kenal letih dan mengajarkanku untuk tidak mengeluh. Bahwa segala jalan
hidup kita, sudah diatur Yang Maha Kuasa. Meski tak pernah ayah mengungkapkan
rasa sayangnya langsung, tapi terasa setiap aku mencium tangannya sebelum
berangkat sekolah, terasa peran besarnya hingga aku sampai di titik ini. Selalu
usapannya selepas aku kembali dari penatnya perkuliahan menjadi penawar,
semangatku seakan terisi kembali.
Pada satu
titik kenangan tertentu, aku rindu menjadi anak kecil. Memangkas penuh
pikiran-pikiran yang tidak membahagiakan. Sembari disisipi sedikit demi sedikit
makna berjuang dan hidup prihatin. Senantiasa spontan mendoakan lancarnya
rezeki setiap melihat pedagang kecil. Mendoakan kesehatan mereka karena boleh
jadi mereka satu-satunya tulang punggung keluarga.
Ajaran-ajaran
keduanya pun tak melulu tersurat. Terekam dalam memoriku perkataan ibuk soal tidak
meminta buah tangan kepada orang lain kecuali diberi karena setiap orang punya
kepentingan dan kemampuannya masing-masing. Atau ketika ayah membantu
mengantarkan tetangga ke rumah sakit sekaligus keduanya repot-repot bolak balik
menyiapkan pengajian di rumahnya. Atau ketika aku diberi kepercayaan melakukan
apapun hingga segan sekali untuk berbohong. Atau ketika aku diajak berkunjung
dan memberi santunan ke panti asuhan. Juga ketika keduanya merawat mbah sampai ajalnya.
Sama halnya
dengan luka masa kecil yang katanya membekas sampai besar—kecuali dengan
penerimaan (5 stages of grief number 5;
acceptance), begitu pula suar-suar nilai kehidupan semasa kecil.
Kabar baiknya, aku
tetap dan akan selalu menjadi anak kecil bagi kedua orang tuaku.
Teringat kata-kataku kepada seorang
teman kemarin, “emang yang bakal ada di samping kamu siapa selain orang tua dan
keluargamu sendiri?” Terkesan ringan mengatakan itu memang, tapi rasanya
mengandung kebenaran, setidaknya bagiku.
Bahkan ketika
seluruh dunia mencari-cari kesalahanku hingga tak berguna lagi hidup rasanya,
merekalah yang takkan menyalahkanku. Pun nasihat-nasihatnya takkan berhenti
hinggap di kepalaku. Bersama merekalah aku pulih atas setiap kenyataan—yang
terdengar—pahit.
Tetapi tetap satu hal yang pasti,
Pada akhirnya,
semua teman hidup akan pergi satu per satu, tertutup tanah. Tepat saat hari itu
tiba, ketika tanah menutupiku, satu per satu pun akan pergi meninggalkanku
sendiri. Sendiri aku lahir ke dunia dan sendiri pula aku kembali dari dunia.
Mataku kembali
menghangat, ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.
Akankah aku
punya cukup waktu, mencapai mimpi-mimpi untuk mereka yang kian menua, menghidupkan
mimpi-mimpi untukku yang akan menua.
Aku bersyukur karena Allah selalu bersamaku
dan mengirimkan malaikatnya yaitu ayah dan ibu. Semoga kita semua kelak berkumpul
kembali di tempat sekekal-kekalnya tiada rasa sakit.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِوَ الِدَىَّ وَارْ حَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَا نِى صَغِيْرًا
19 Februari
2019
Terinspirasi
dari lagu Fourtwnty – Kita Pasti Tua

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih :)