Selasa, 31 Agustus 2021

[Catatan Perjalanan: Pulang ke Dekapan Sendiri]

Di panggung ini kita memainkan perannya masing-masing. Ada yang bersua dengan lantang, ada yang memilih bersembunyi. Tak ada yang tahu pasti maksud dibalik peran itu selain si empunya peran. Seberapa hebat manusia, sih, sampai bisa menerka dengan akurat tentang seseorang. Karakter yang dimainkan pun dapat berubah. Kau bisa mengganti apa yang ingin kau tampakkan saat kau ingin berubah.

Aku mengamati sembari menyesap secangkir kopi di teras rumah. Rasanya unik, ada pahit, manis, dan asamnya. Kuberitakan ke seluruh penjuru dunia, kopi terbaik yang pernah ada. Mari kita duduk meneguk secangkir bersama, menertawakan hal paling konyol hingga membicarakan seputar politik sekalipun.

Lalu tiba saatnya di akhir pekan, semua orang pulang ke rumah. Meski ada beragam bentuknya, rumah seperti apa yang paling kau sukai? Tetapi, tidak semua rumah membukakan pintu kepada sembarang tamu. Di sisa-sisa energi sayap untuk terbang, pulang ke dekapan sendiri adalah yang paling dekat. Menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri yang terasa terlalu dingin, membuang persediaan yang sudah tak layak guna. Lalu berakhir duduk di teras rumah memeluk diri sendiri dengan erat.

Kamis, 24 Juni 2021

[Catatan Perjalanan: Dari Rumah ke Rumah]

Barangkali yang sering kita tanyakan adalah seberapa besar rasa seberapa dalam suatu usaha sampai ke hatimu. Ketulusan ialah apa-apa yang tak kasat mata, tetapi menelusuk relung hati. Sesederhana hari ini kita berkawan dengan seorang yang kepalanya dipenuhi simpul kusut tetapi mendengarkanmu dengan saksama. Atau ketika kita hanya punya dua lembar sepuluh ribu tetapi memilih membeli dagangan kakek tua yang tak sengaja bertemu di pinggir jalan. "Semoga sehat dan rezekinya lancar terus nak," sahutnya.

Aku berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Aku berkunjung ke empunya ruang kecil yang berisi manusia-manusia hangat, membuatnya terasa seluas samudera. Yang luas bisa jadi menyesakkan, yang sempit bisa jadi melapangkan.

Aku ingin memperluas definisi rumah yang ada di dalam hatimu itu. Rumah itu ada beragam bentuknya. Rumah adalah apa-apa yang memberikan kenyamanan dalam bentuk apapun, entah itu rupanya atau apa yang ada di dalamnya. Rumah adalah segala perasaan yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata yang membuatmu menyunggingkan senyum, seperti perasaan ketika mendengar doa sang kakek tua.

Seperti pencarian dari satu titik ke titik lainnya, akan ada dermaga yang membuat manusia berpikir. Mungkin saat hujan? 

Katamu, "Hujan itu 1% cairan dan 99% kenangan...". Memangnya, kenangan apa saja yang membuatmu tersadar di kala hujan? 

Yang indah akan lewat seperti semilir angin sore, tapi akan terus dipatri dalam memori hingga tak luput dari ingatan. Yang menyakitkan pun juga akan lewat seperti semilir angin sore dan akan terus terpatri dalam memori hingga tak pernah lupa kalau ia pernah merasakan sakitnya.

Selasa, 18 Mei 2021

Benteng Pertahanan

Konon, Benteng Keraton Buton di Sulawesi Tenggara adalah benteng terbesar di dunia. Benteng seluas 23,375 hektar ini memiliki 12 pintu yang dahulu berfungsi sebagai tempat perlindungan raja dan kepala adat, sekaligus tempat pengawasan kapal yang melintasi pesisir. Kini, benteng itu hanya menjadi saksi sejarah dan lapuk dimakan usia. Fakta ini membawaku mengamati orang-orang di dalamnya.

Entah itu pada sepasang mata adik kecil yang kau temui tak sengaja mengingatkan awal perkenalanmu dengan perjuangan. Ketika yang tampak mustahil adalah membebaskan dari ketidakberdayaan. Pada akhirnya, kau berhasil dan orang-orang hanya melihat keberhasilan. Padahal, apa yang tampak hanya sebongkah kecil puncak gunung es di laut dalam.

Entah itu pada sesosok manusia seperlima abad yang semangatnya membara berinvestasi ilmu, mencari jawaban dari pertanyaan di benaknya. Ia dapati salah dan kecewa di perjalanan. Nyatanya, tak semua tanya bisa kau jawab dan tak semua angan dapat kau raih.

Entah itu pada dua pasang manusia bergandeng tangan yang kulitnya sudah keriput. Ketidaksempurnaan ada bukan untuk saling menghakimi, tetapi keikhlasanlah yang membawa mereka sebersahaja ini. "Apa yang engkau sesali selama hidup sampai saat ini?" tanyaku. "Andai sejak dulu aku bisa memaafkan orang lain dengan segera  tanpa perlu menunggu maaf darinya," jawabnya tersenyum.

Hari ini, beribu pasang mata menyadarkanku bahwa ada kalanya beberapa sisi benteng pertahanan dalam dirimu akan roboh, tetapi sungguh tak apa karena benteng terkokoh sekalipun tetap roboh pada waktunya. Benteng yang ada dalam dirimu itu, pasti kau bangun setiap harinya sampai akhir perjuangan.