Sabtu, 09 November 2019

Dirimu Berharga, Xalena

“Xalena, apa yang sedang kamu pikirkan? Nampak tak ceria seperti biasanya, kelas jadi sepi nih.”
“Hmm, tidak ada. Aku hanya sedang merasa tak enak badan saja.”
“Bisa sakit juga ya kamu, Len? Hehe”

Pagi tadi, selepas sholat Tahajud aku melakukan rutinitasku seperti biasa, masak, cuci piring, merapikan rumah, dan bersiap kuliah. Pergelangan tanganku masih sakit rasanya karena kelakuanku semalam. Untung saja aku segera tertidur sebelum sayatannya semakin dalam.


“Xalena, tolong revisi rubrikku minggu ini, ya!”
“Baik.”

Kau tahu? Kalau dihitung mungkin sudah ribuan kali aku merevisi rubrik hariannya demi selembar uang bergambar wajah Soekarno setiap minggu. Meski dengan begitu, aku harus bersedia kantung mataku semakin menghitam setiap harinya. Setidaknya, cukup untuk uang jajan ketiga adikku meskipun kenyatannya jauh dari kata cukup.

“Len, aku mau cerita deh.”

Kata orang, aku adalah sosok pendengar yang baik. Mereka tak pernah tahu, mungkin aku bisa sebegitu memahami mereka karena rasa sakit tumbuh seperti kalimat – kalimat indah Kahlil Gibran dalam hidupku. Ketika menenangkan ketiga adikku yang menangis karena aku tak punya sepeser pun untuk membeli beras. Ketika sepulang kuliah harus bekerja part time di kafe sebelah kampus sedang deadline tugas kuliah membayangi. Ketika aku memakan 10 obat sakit kepala sekaligus saat tak kuasa menahan sakit. Mereka tak pernah tahu, mereka tak pernah mau tahu, atau mereka hanya ingin tahu, titik.

“Tetaplah berjalan di lajur hidupmu, Nak. Sebagian orang akan memaksamu jatuh tersungkur dan sebagian lain akan mengulurkan tangannya berjalan di sampingmu,” kata Ibu dua tahun lalu. Kalimat terakhir yang selalu menjadi kekuatanku sebelum beliau meninggalkanku selamanya. Sejak itu, aku kehilangan separuh kakiku berjalan, ketika aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak punya siapa-siapa lagi selain ketiga adik yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Aku selalu percaya, suatu hari akan ada seseorang yang mengulurkan tangannya itu, entah kapan.

Pagi tadi, selepas sholat Tahajud aku melakukan rutinitasku seperti biasa. Tetapi ada yang tak biasa. Darah dari hidungku tak kunjung berhenti mengalir. Aku tak pernah takut darah. Bekas – bekas goresan di lenganku baik yang masih segar maupun sudah kering saksinya. Tapi kali ini berbeda. Aku yang berkawan dengan kematian tetiba merasa takut yang sangat. Jarakku dengannya adalah sebatas menunggu kerelaanku. Adakah seseorang yang akan mengulurkan tangannya itu? Ataukah di sana aku akan jauh lebih bahagia—bersama Ibu?

Berapa banyak pasang mata yang menilaimu, Xalena? Berapa banyak tubuh yang sudah menyakitimu? Berapa banyak jiwa-jiwa haus yang kamu beri minum?


On campaigning world mental health
Barangkali, Xalena ada di sekitar kita.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kepada siapapun yang membaca ini,
terima kasih telah berjuang sampai sejauh ini.
Segala kebahagiaan dan rasa sakit selalu menemui fasenya masing-masing.
Pada titik mana kamu bahagia sampai lupa rasanya kecewa?
Pada titik mana kamu sakit sampai mengakhiri hidup menjadi opsi?
Sampai sejauh mana sudah rasa syukurmu?

Maafkan dirimu sendiri karena sering memaksakan diri, menuntut banyak hal, mengorbankan banyak hal yang semuanya terlewati pada akhirnya.
Aku bangga padamu.
Aku selalu berharap kebaikan selalu menyertaimu dan kamu selalu di jalan yang baik.
Tapi emang ga mudah kan ya?
Maafkan dirimu yang sering memendam rasa sakit, tak cerita karena takut orang lain tak paham.
Pasti ga mudah kan ya?


Berbagilah, aku siap mendengarkan setiap inci ceritamu😊💚

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih :)