“Xalena, apa yang sedang kamu
pikirkan? Nampak tak ceria seperti biasanya, kelas jadi sepi nih.”
“Hmm, tidak ada. Aku hanya sedang
merasa tak enak badan saja.”
“Bisa sakit juga ya kamu, Len?
Hehe”
Pagi tadi, selepas sholat Tahajud
aku melakukan rutinitasku seperti biasa, masak, cuci piring, merapikan rumah,
dan bersiap kuliah. Pergelangan tanganku masih sakit rasanya karena kelakuanku semalam.
Untung saja aku segera tertidur sebelum sayatannya semakin dalam.
“Xalena, tolong revisi rubrikku
minggu ini, ya!”
“Baik.”
Kau tahu? Kalau dihitung mungkin
sudah ribuan kali aku merevisi rubrik hariannya demi selembar uang bergambar
wajah Soekarno setiap minggu. Meski dengan begitu, aku harus bersedia kantung
mataku semakin menghitam setiap harinya. Setidaknya, cukup untuk uang jajan
ketiga adikku meskipun kenyatannya jauh dari kata cukup.
“Len, aku mau cerita deh.”
Kata orang, aku adalah sosok pendengar
yang baik. Mereka tak pernah tahu, mungkin aku bisa sebegitu memahami mereka
karena rasa sakit tumbuh seperti kalimat – kalimat indah Kahlil Gibran dalam
hidupku. Ketika menenangkan ketiga adikku yang menangis karena aku tak punya
sepeser pun untuk membeli beras. Ketika sepulang kuliah harus bekerja part time di kafe sebelah kampus sedang deadline tugas kuliah membayangi. Ketika aku memakan 10 obat sakit
kepala sekaligus saat tak kuasa menahan sakit. Mereka tak pernah tahu, mereka
tak pernah mau tahu, atau mereka hanya ingin tahu, titik.
“Tetaplah berjalan di lajur
hidupmu, Nak. Sebagian orang akan memaksamu jatuh tersungkur dan sebagian lain
akan mengulurkan tangannya berjalan di sampingmu,” kata Ibu dua tahun lalu.
Kalimat terakhir yang selalu menjadi
kekuatanku sebelum beliau meninggalkanku selamanya. Sejak itu, aku kehilangan
separuh kakiku berjalan, ketika aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak punya
siapa-siapa lagi selain ketiga adik yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Aku
selalu percaya, suatu hari akan ada seseorang yang mengulurkan tangannya itu,
entah kapan.
Pagi tadi, selepas sholat Tahajud
aku melakukan rutinitasku seperti biasa. Tetapi ada yang tak biasa. Darah dari
hidungku tak kunjung berhenti mengalir. Aku tak pernah takut darah. Bekas –
bekas goresan di lenganku baik yang masih segar maupun sudah kering saksinya.
Tapi kali ini berbeda. Aku yang berkawan dengan kematian tetiba merasa takut
yang sangat. Jarakku dengannya adalah sebatas menunggu kerelaanku. Adakah
seseorang yang akan mengulurkan tangannya itu? Ataukah di sana aku akan jauh
lebih bahagia—bersama Ibu?
Berapa banyak pasang mata yang menilaimu, Xalena? Berapa banyak tubuh
yang sudah menyakitimu? Berapa banyak jiwa-jiwa haus yang kamu beri minum?
On campaigning world mental health
Barangkali, Xalena ada di sekitar
kita.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kepada siapapun yang membaca ini,
terima kasih telah berjuang
sampai sejauh ini.
Segala kebahagiaan dan rasa sakit
selalu menemui fasenya masing-masing.
Pada titik mana kamu bahagia
sampai lupa rasanya kecewa?
Pada titik mana kamu sakit sampai
mengakhiri hidup menjadi opsi?
Sampai sejauh mana sudah rasa
syukurmu?
Maafkan dirimu sendiri karena
sering memaksakan diri, menuntut banyak hal, mengorbankan banyak hal yang
semuanya terlewati pada akhirnya.
Aku bangga padamu.
Aku selalu berharap kebaikan
selalu menyertaimu dan kamu selalu di jalan yang baik.
Tapi emang ga mudah kan ya?
Maafkan dirimu yang sering
memendam rasa sakit, tak cerita karena takut orang lain tak paham.
Pasti ga mudah kan ya?
Berbagilah, aku siap mendengarkan
setiap inci ceritamu😊💚

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih :)