Minggu, 10 Desember 2017

Memahami


“Dih jadi orang cerewet amat, berisik.”

“Aneh, caper banget, muka dua emang!”

“Males kali temenan sama dia.”

“Nakal banget, bad boy.”


Pada suatu waktu, saya mendengar judging teman-teman kepada seorang teman saya. Saya yang ikut-ikutan lantas mengecapnya hal senada. Sikapnya yang tidak berubah hingga tak tersisa satu pun teman, tak lantas membuat saya membuka mata. Barangkali, dia hanya butuh teman disampingnya untuk menyadarkan. Tapi dengan tak acuhnya pikiran saya tak sampai situ.

Pada masa berikutnya, teman saya menjadi sosok pendiam. Mungkin tekanan dari kami semua menghilangkan segenap kepercayaan dirinya. Omongan yang sampai dari mulut-ke-mulut rasanya sudah menjadi rahasia umum. Pada titik nadir, beberapa orang menyelamatkan hidupnya. Saya yakin, orang-orang tersebut akan dikenang teman saya seperti ia menemukan kecintaan akan dirinya sendiri.

Time flies, bukankah kehidupan ini berputar?

Sosoknya yang kini diagungkan banyak orang, ternyata menyimpan terlalu banyak kisah pilu yang belakangan baru saya ketahui kebenarannya.

Keluarganya yang serba disiplin atau jatuh kepada kasar, tak memberinya ruang untuk menyuarakan pembelaannya. Ternyata teman saya cerewet di lingkungan lain karena ia merasa menemukan kebebasan berpendapatnya. Atau teman saya nakal di lingkungan lain karena ia merasa menemukan kebebasan hidupnya.

Orang-orang meremehkan dan merendahkannya, termasuk orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindungnya—keluarga. Tak pernah satu pun memberinya kasih sayang seperti layaknya, menciutkan keberartian hidupnya di dunia. Ternyata, teman saya caper karena ia memang butuh perhatian, bukan caper seperti manusia-manusia panjat sosial.

Ternyata, teman saya aneh karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa segala yang ia lakukan adalah salah.

Ternyata, teman saya…

Ternyata,...

Dan ternyata masih banyak ternyata lainnya.


Dalam hidup ini, terkadang kita terlalu ikut-ikutan karena takut dipandang berbeda. Sampai-sampai, membenci orang pun kita ikut-ikutan. Padahal boleh jadi, sesuatu yang salah pada teman kita bisa kita perbaiki. Dan boleh jadi, seribu satu kepahitan telah dan terus menanti untuk ia lalui.

Tunggu dulu, sudahkah kita berkaca pada diri?

Merutuki diri sendiri itu, nggak enak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih :)